Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat
berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara.
Pemahaman utamanya mencakup:
- Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
- Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
- Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.
Kemiskinan bisa
dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak
terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran
absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup
menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk
laki laki dewasa).
Bank Dunia
mendefinisikan Kemiskinan absolut
sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah
$2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia
mengonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang
dari $2/hari."[1]
Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah
turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.[1]
Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup
dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai
dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan
yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran
kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan
kaum tuna wisma
yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto
yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat
miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara
kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini
biasanya disebut sebagai negara
berkembang.
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
- penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan.
- penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
- penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya.
- penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
- penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas
bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun
di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di
dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu,
orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal
melewati atas garis kemiskinan.
Tanggapan utama terhadap kemiskinan
adalah:
- Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan. Di Indonesia salah satunya berbentuk BLT.
- Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
- Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan. Persiapan bagi yang lemah juga dapat berupa pemberian pelatihan sehingga nanti yang bersangkutan dapat membuka usaha secara mandiri.
Kemiskinan di Indonesia
Antara pertengahan
tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan
Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis -
baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya
program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan
Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun
drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi
penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja.
Namun, ketika pada
akhir tahun 1990-an Krisis
Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit
tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti
prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.
Tabel berikut ini
memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun absolut
(untuk membaca analisis mengenai Gini Rasio silakan lanjut baca di bagian bawah
halaman situs ini):
Statistik
Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Kemiskinan
Relatif
(% dari populasi) |
16.6
|
15.4
|
14.2
|
13.3
|
12.5
|
11.7
|
11.5
|
11.0
|
11.1
|
10.9¹
|
Kemiskinan
Absolut
(dalam jutaan) |
37
|
35
|
33
|
31
|
30
|
29
|
29
|
28
|
29
|
28¹
|
Koefisien
Gini/
Rasio Gini |
0.35
|
0.35
|
0.37
|
0.38
|
0.41
|
0.41
|
0.41
|
0.41
|
0.41
|
0.40
|
¹ Maret
2016
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)
Tabel di atas
menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun,
pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi
garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari
kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan
dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar
USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga
buat pengertian orang Indonesia sendiri.
Namun jika kita
menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang
mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan
kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka persentase tabel di atas akan
kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih
lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia
yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan
meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih
anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat
jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di
atas garis kemiskinan nasional.
Dalam beberapa tahun
belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan yang
signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa
depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari
kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti
tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan.
Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di
bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk
bangkit dan keluar dari kemiskinan. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka
penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.
Stabilitas harga
makanan (khususnya beras)
merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya
menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk
makanan lain). Oleh karena itu, tekanan
inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat
memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan
sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa
jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.
Selain inflasi yang
disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk mengurangi
subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang
tinggi. Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan
signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak
internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM
waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah
inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai
oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir
tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak internasional yang
lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak yang luar
biasa pada angka inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8
- 9 persen (t/t) pada tahun 2014 maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di
Indonesia di antara tahun 2014 dan 2015, baik di wilayah pedesaan maupun
perkotaan.
Kemiskinan di
Indonesia dan Distribusi Geografis
Salah satu
karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara
nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan
lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah
total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi
di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian relatif
propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih
tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima propinsi di Indonesia dengan angka
kemiskinan relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini berlokasi di luar
wilayah Indonesia Barat seperti pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah
wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding pulau-pulau di bagian timur
Indonesia).
Propinsi
dengan Angka Kemiskinan Relatif Tinggi:
Provinsi
|
Orang Miskin¹
|
Papua
|
28.5%
|
Papua Barat
|
25.4%
|
Nusa Tenggara Timur
|
22.2%
|
Maluku
|
19.2%
|
Gorontalo
|
17.7%
|
¹ persentase berdasarkan total penduduk
per propinsi bulan March 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Tingkat kemiskinan di
propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian besar penduduknya
adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan. Di daerah tersebut
masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses perkembangan ekonomi dan jauh
dari program-program pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga
internasional). Migrasi ke daerah perkotaan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan
pekerjaan dan - dengan demikian - menghindari kehidupan dalam
kemiskinan.
Bertentangan dengan
angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah ini menunjukkan
angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan
Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di Indonesia.
Propinsi
dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi:
Provinsi
|
Orang Miskin
(dalam jutaan) |
Jawa Timur
|
4.78
|
Jawa Tengah
|
4.51
|
Jawa Barat
|
4.49
|
Sumatra Utara
|
1.51
|
Nusa Tenggara Timur
|
1.16
|
per Maret 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Kemiskinan di
Indonesia: Kota dan Desa
Indonesia telah
mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat (sama seperti tren
internasional belakangan ini). Sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah absolut
penduduk pedesaan di Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih dari setengah
total penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (padahal pada tengah
1990-an hanya sekitar sepertiga populasi Indonesia tinggal di daerah
perkotaan).
Kecuali beberapa
propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia relatifnya lebih miskin dibanding
wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan Indonesia (persentase penduduk
pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan desa tingkat nasional) turun
hingga sekitar 20 persen di pertengahan 1990-an tetapi melonjak tinggi ketika
Krisis Finansial Asia (Krismon) terjadi antara tahun 1997 dan 1998, yang
mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun 2006, terjadi
penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang
ditunjukkan tabel di bawah ini, walau slowdown ekonomi
Indonesia di antara tahun 2011 dan 2015 membatasi penurunan
tersebut.
Statistik
Kemiskinan Pedesaan di Indonesia:
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Kemiskinan
Pedesaan¹
|
21.8
|
20.4
|
18.9
|
17.4
|
16.6
|
15.7
|
14.3
|
14.4
|
13.8
|
14.2
|
14.1
|
¹ persentase
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan desa
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Angka kemiskinan kota
adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah garis kemiskinan
kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan tingkat
kemiskinan perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan tingkat
kemiskinan desa: semakin berkurang mulai dari tahun 2006 tetapi kinerja ini
terbatasi di antara tahun 2012-2015 karena slowdown perekonomian
Indonesian. Slowdown ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi
global yang lemah, penurunan harga komoditas, dan iklim suku bunga Bank
Indonesia yang tinggi pada periode 2013-2015 (demi melawan inflasi yang tinggi,
mendukung rupiah, dan membatasi defisit transaksi berjalan).
Statistik
Kemiskinan Perkotaan di Indonesia:
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Kemiskinan
Kota¹
|
13.5
|
12.5
|
11.6
|
10.7
|
9.9
|
9.2
|
8.4
|
8.5
|
8.2
|
8.3
|
7.8
|
¹ persentase
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan kota
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Ketidaksetaraan
di Indonesia yang semakin Meluas?
The Gini ratio (or
coefficient), which measures income distribution inequality, is an important
indicator to assess the degree of 'righteousness' in a country (although this
indicator does have some flaws). A Gini coefficient of 0 indicates perfect
equality, while a coefficient of 1 indicates perfect inequality. It is
interesting to note that a sharp rise in income distribution inequality
occurred in Indonesia in the post-Suharto era. Thus, the period of democracy
and decentralization in the post-Suharto era created an environment that
allowed for rising inequality in Indonesian society: while in the 1990s
Indonesia's Gini ratio stood at an average of 0.30, it rose to an average of
0.39 in the 2000s, and remained stable at 0.41 in the years 2011-2015 before
easing slightly to 0.40 in 2016.
It actually is a
painful fact that Indonesia's rising inequality emerged while - at the same
time - the overall economy expanded from a USD $163.8 billion economy in 1999
to a USD $861.9 billion economy in 2015 (and while Indonesia became a member of
the G20 group of major economies in 2008)
A World Bank report
that was released in December 2015 claims that only the richest 20 percent of
Indonesia's population have enjoyed the fruits of a decade-long economic
growth, implying that 80 percent of the population (or 200 million people in
absolute terms) are left behind. These are alarming figures. In fact, after
China, Indonesia saw the highest rise in income distribution inequality between
the 1990s and the 2000s among Asian countries:
Asian
Countries with the Highest Average Gini Ratio:
Country
|
Gini Ratio
in
the 1990s |
Gini Ratio
in
the 2000s |
Difference
|
China
|
0.34
|
0.45
|
+0.11
|
Indonesia
|
0.30
|
0.39
|
+0.09
|
Laos
|
0.32
|
0.38
|
+0.06
|
India
|
0.34
|
0.39
|
+0.05
|
Vietnam
|
0.37
|
0.37
|
0.00
|
Cambodia
|
0.39
|
0.38
|
-0.01
|
Philippines
|
0.45
|
0.44
|
-0.01
|
Malaysia
|
0.49
|
0.47
|
-0.02
|
Thailand
|
0.46
|
0.41
|
-0.05
|
Source: World
Bank
In Indonesia the Gini
ratio is also closely related to the movement of commodity prices. The rising
trend of the nation's Gini ratio in the 2000s came amid the commodities boom,
while the Gini ratio stabilized after commodity prices collapsed in 2011.
Therefore, rising or falling commodity prices apparently particularly affect
the top 20 percent of the Indonesian population. Lower commodity prices weakens
this group's incomes and purchasing power.
A high degree of
inequality in society is a threat because it not only jeopardizes social
cohesion but it also jeopardizes political and economic stability. Moreover,
research conducted by the World Bank shows that countries with more equal
wealth distribution tend to grow faster and more stably compared to those
countries that exhibit a high degree of inequality.
Besides overall
nationwide inequality in Indonesia, there also exists a high degree of
inequality among the various regions within the country. For example the island
of Java, particularly the Greater Jakarta region, contributes about 60 percent
to the total Indonesian economy. Direct investment is also highly concentrated
on this island causing rising inequality between Java and the outer islands.
What can the government
do to combat income distribution inequality in Indonesia? Key strategies would
be to increase employment
opportunities for Indonesians by encouraging the development of
labor-intensive sectors (particularly the agriculture sector and manufacturing
industry). To achieve this, it is important to attract direct investment in
these labor-intensive industries (implying the government needs to continue its
focus on improving Indonesia's investment climate).
Meanwhile, the
government needs to focus on the development of new economic growth centers
outside the island of Java in order to reduce inequality (structurally) among
the various regions. Infrastructure development in the remote regions is one
strategy to achieve this (which will cause the so-called multiplier effect).
Lastly, education and health should also be improved nationwide as higher
education and healthy lifestyles tend to lead to higher incomes.
Namun, kita masih dapat
mempertanyakan metodologi koefisien Gini ini karena ia membagi penduduk dalam
lima kelompok, masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen
terkaya sampai ke 20 persen termiskin. Selanjutnya, koefisien ini mengukur
kesetaraan (dan ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika
menggunakan koefisien ini untuk Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini
memiliki karakter ketidakseimbangan ekstrim dalam setiap kelompoknya, sehingga
membuat hasil koefisien Gini kurang selaras dengan kenyataan.
Penyebab keterbelakangan negara
Indonesia yaitu:
- Pemerintahan negara Indonesia yang lebih mementingkan nilai dari pada kualitas otak anak , buktinya: setiap tahun nilai UN atau Ujian Nasional selalu meningkat, dan anak harus lulus sekolah sesuai nilai yang di tetapkan oleh pemerintah.
- Pemerintah yang selalu menyalahgunakan uang negara, sehingga uang negara di pakai untuk kepentingan sendiri, dan bukan di gunakan untuk negara
- Kurangnya semangat belajar pada anak, agar anak semangat belajar harus ada motivasi baik dari guru, teman, keluarga, atau pun media massa
- Kurangnya kreatifitas pada diri masyarakat, sehingga Sumber Daya Alam atau SDA yang berada di negara kita digunakan oleh negara lain
- Kurangnya tingkat kreatifitas Sumber Daya Manusia atau SDM, sehingga masyarakat Indonesia hanya bisa bekerja di pihak warga negara asing. Padahal jika masyarakat Indonesia mampu berkreatifitas, maka masyarakat mampu membuka lapangan pekerjaan sendiri
- Kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Sebenarnya pemerintah mengetahui bahwa rakyat Indonesia itu tidak sedikit melainkan sangat banyak, namun lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah tidak seimbang dengan masyarakat yang berada di negara Indonesia
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar