Sabtu, 22 April 2017

KEMISKINAN DAN KETERBELAKANGAN



Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
  • Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
  • Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
  • Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.

Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori , yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten , tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dg pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dg batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengonsumsi kurang dari $2/hari."[1] Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001.[1] Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota dan ghetto yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang.

Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
  • penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan.
  • penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
  • penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya.
  • penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
  • penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.

Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:
  • Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan. Di Indonesia salah satunya berbentuk BLT.
  • Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
  • Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan. Persiapan bagi yang lemah juga dapat berupa pemberian pelatihan sehingga nanti yang bersangkutan dapat membuka usaha secara mandiri.
Kemiskinan di Indonesia
Antara pertengahan tahun 1960-an sampai tahun 1996, waktu Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pemerintahan Orde Baru Suharto, tingkat kemiskinan di Indonesia menurun drastis - baik di desa maupun di kota - karena pertumbuhan ekonomi yang kuat dan adanya program-program penanggulangan kemiskinan yang efisien. Selama pemerintahan Suharto angka penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun drastis, dari awalnya sekitar setengah dari jumlah keseluruhan populasi penduduk Indonesia, sampai hanya sekitar 11 persen saja.
Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.
Tabel berikut ini memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun absolut (untuk membaca analisis mengenai Gini Rasio silakan lanjut baca di bagian bawah halaman situs ini):
Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:

 2007
 2008
 2009
 2010
 2011
 2012
 2013
 2014
 2015
 2016
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi)
 16.6
 15.4
 14.2
 13.3
 12.5
 11.7
 11.5
 11.0
 11.1
 10.9¹
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
   37
   35
   33
   31
   30
   29
   29
   28
   29
   28¹
Koefisien Gini/
Rasio Gini
 0.35
 0.35
 0.37
 0.38
 0.41
 0.41
 0.41
 0.41
 0.41
 0.40
¹ Maret 2016
Sumber: Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS)
Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.
Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.
Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.
Stabilitas harga makanan (khususnya beras) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.
Selain inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi. Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak internasional yang lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak yang luar biasa pada angka inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8 - 9 persen (t/t) pada tahun 2014 maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di Indonesia di antara tahun 2014 dan 2015, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Kemiskinan di Indonesia dan Distribusi Geografis
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat seperti pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding pulau-pulau di bagian timur Indonesia).
Propinsi dengan Angka Kemiskinan Relatif Tinggi:
Provinsi
Orang Miskin¹
Papua
      28.5%
Papua Barat
      25.4%
Nusa Tenggara Timur
      22.2%
Maluku
      19.2%
Gorontalo
      17.7%
¹ persentase berdasarkan total penduduk per propinsi bulan March 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan. Di daerah tersebut masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses perkembangan ekonomi dan jauh dari program-program pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional). Migrasi ke daerah perkotaan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pekerjaan dan - dengan demikian - menghindari kehidupan dalam kemiskinan.
Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah ini menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di Indonesia.
Propinsi dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi:
Provinsi
Orang Miskin
(dalam jutaan)
Jawa Timur
       4.78
Jawa Tengah
       4.51
Jawa Barat
       4.49
Sumatra Utara
       1.51
Nusa Tenggara Timur
       1.16
per Maret 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Kemiskinan di Indonesia: Kota dan Desa
Indonesia telah mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat (sama seperti tren internasional belakangan ini). Sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah absolut penduduk pedesaan di Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih dari setengah total penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (padahal pada tengah 1990-an hanya sekitar sepertiga populasi Indonesia tinggal di daerah perkotaan).
Kecuali beberapa propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia relatifnya lebih miskin dibanding wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan Indonesia (persentase penduduk pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan desa tingkat nasional) turun hingga sekitar 20 persen di pertengahan 1990-an tetapi melonjak tinggi ketika Krisis Finansial Asia (Krismon) terjadi antara tahun 1997 dan 1998, yang mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun 2006, terjadi penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang ditunjukkan tabel di bawah ini, walau slowdown ekonomi Indonesia di antara tahun 2011 dan 2015 membatasi penurunan tersebut.
Statistik Kemiskinan Pedesaan di Indonesia:

2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Kemiskinan Pedesaan¹
21.8
20.4
18.9
17.4
16.6
15.7
14.3
14.4
13.8
14.2
14.1
¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan desa
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Angka kemiskinan kota adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah garis kemiskinan kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan tingkat kemiskinan perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kemiskinan desa: semakin berkurang mulai dari tahun 2006 tetapi kinerja ini terbatasi di antara tahun 2012-2015 karena slowdown perekonomian Indonesian. Slowdown ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global yang lemah, penurunan harga komoditas, dan iklim suku bunga Bank Indonesia yang tinggi pada periode 2013-2015 (demi melawan inflasi yang tinggi, mendukung rupiah, dan membatasi defisit transaksi berjalan).
Statistik Kemiskinan Perkotaan di Indonesia:

2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
Kemiskinan Kota¹
13.5
12.5
11.6
10.7
 9.9
 9.2
 8.4
 8.5
 8.2
 8.3
 7.8
¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan kota
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Ketidaksetaraan di Indonesia yang semakin Meluas?
The Gini ratio (or coefficient), which measures income distribution inequality, is an important indicator to assess the degree of 'righteousness' in a country (although this indicator does have some flaws). A Gini coefficient of 0 indicates perfect equality, while a coefficient of 1 indicates perfect inequality. It is interesting to note that a sharp rise in income distribution inequality occurred in Indonesia in the post-Suharto era. Thus, the period of democracy and decentralization in the post-Suharto era created an environment that allowed for rising inequality in Indonesian society: while in the 1990s Indonesia's Gini ratio stood at an average of 0.30, it rose to an average of 0.39 in the 2000s, and remained stable at 0.41 in the years 2011-2015 before easing slightly to 0.40 in 2016.
It actually is a painful fact that Indonesia's rising inequality emerged while - at the same time - the overall economy expanded from a USD $163.8 billion economy in 1999 to a USD $861.9 billion economy in 2015 (and while Indonesia became a member of the G20 group of major economies in 2008)
A World Bank report that was released in December 2015 claims that only the richest 20 percent of Indonesia's population have enjoyed the fruits of a decade-long economic growth, implying that 80 percent of the population (or 200 million people in absolute terms) are left behind. These are alarming figures. In fact, after China, Indonesia saw the highest rise in income distribution inequality between the 1990s and the 2000s among Asian countries:
Asian Countries with the Highest Average Gini Ratio:
Country
Gini Ratio in
 the 1990s
Gini Ratio in
 the 2000s     
Difference
China
     0.34
     0.45
    +0.11
Indonesia
     0.30
     0.39
    +0.09
Laos
     0.32
     0.38
    +0.06
India
     0.34
     0.39
    +0.05
Vietnam
     0.37
     0.37
     0.00
Cambodia
     0.39
     0.38
    -0.01
Philippines
     0.45
     0.44
    -0.01
Malaysia
     0.49
     0.47
    -0.02
Thailand
     0.46
     0.41
    -0.05
Source: World Bank
In Indonesia the Gini ratio is also closely related to the movement of commodity prices. The rising trend of the nation's Gini ratio in the 2000s came amid the commodities boom, while the Gini ratio stabilized after commodity prices collapsed in 2011. Therefore, rising or falling commodity prices apparently particularly affect the top 20 percent of the Indonesian population. Lower commodity prices weakens this group's incomes and purchasing power.
A high degree of inequality in society is a threat because it not only jeopardizes social cohesion but it also jeopardizes political and economic stability. Moreover, research conducted by the World Bank shows that countries with more equal wealth distribution tend to grow faster and more stably compared to those countries that exhibit a high degree of inequality.
Besides overall nationwide inequality in Indonesia, there also exists a high degree of inequality among the various regions within the country. For example the island of Java, particularly the Greater Jakarta region, contributes about 60 percent to the total Indonesian economy. Direct investment is also highly concentrated on this island causing rising inequality between Java and the outer islands.
What can the government do to combat income distribution inequality in Indonesia? Key strategies would be to increase employment opportunities for Indonesians by encouraging the development of labor-intensive sectors (particularly the agriculture sector and manufacturing industry). To achieve this, it is important to attract direct investment in these labor-intensive industries (implying the government needs to continue its focus on improving Indonesia's investment climate).
Meanwhile, the government needs to focus on the development of new economic growth centers outside the island of Java in order to reduce inequality (structurally) among the various regions. Infrastructure development in the remote regions is one strategy to achieve this (which will cause the so-called multiplier effect). Lastly, education and health should also be improved nationwide as higher education and healthy lifestyles tend to lead to higher incomes.
Namun, kita masih dapat mempertanyakan metodologi koefisien Gini ini karena ia membagi penduduk dalam lima kelompok, masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen terkaya sampai ke 20 persen termiskin. Selanjutnya, koefisien ini mengukur kesetaraan (dan ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika menggunakan koefisien ini untuk Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini memiliki karakter ketidakseimbangan ekstrim dalam setiap kelompoknya, sehingga membuat hasil koefisien Gini kurang selaras dengan kenyataan.

Penyebab keterbelakangan negara Indonesia yaitu:
  1. Pemerintahan negara Indonesia yang lebih mementingkan nilai dari pada kualitas otak anak , buktinya: setiap tahun nilai UN atau Ujian Nasional selalu meningkat, dan anak harus lulus sekolah sesuai nilai yang di tetapkan oleh pemerintah.
  2. Pemerintah yang selalu menyalahgunakan uang negara, sehingga uang negara di pakai untuk kepentingan sendiri, dan bukan di gunakan untuk negara
  3. Kurangnya semangat belajar pada anak, agar anak semangat belajar harus ada motivasi baik dari guru, teman, keluarga, atau pun media massa
  4. Kurangnya kreatifitas pada diri masyarakat, sehingga Sumber Daya Alam atau SDA yang berada di negara kita digunakan oleh negara lain
  5. Kurangnya tingkat kreatifitas Sumber Daya Manusia atau SDM, sehingga masyarakat Indonesia hanya bisa bekerja di pihak warga negara asing. Padahal jika masyarakat Indonesia mampu berkreatifitas, maka masyarakat mampu membuka lapangan pekerjaan sendiri
  6. Kurangnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah. Sebenarnya pemerintah mengetahui bahwa rakyat Indonesia itu tidak sedikit melainkan sangat banyak, namun lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pemerintah tidak seimbang dengan masyarakat yang berada di negara Indonesia

Sumber :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar