Propinsi Aceh Merupakan salah satu propinsi yang ada di
Inonesaia yang memiliki kaya dengan sumber daya alam yang sangat luar biasa.
Sumber daya mineral minyak dan gas bumi, batubara, nikel, timah, emas, sumber daya
laut dan pesisir, sumber daya hutan, dan lain-lain adalah sumber kekayaan alam
yang diberikan Tuhan kepada rakyat Aceh. Kekayaan alam tersebut membawa nikmat
dan telah mengantarkan rakyat Aceh Pada Khususnya dan bangsa Indonesia pada
Umumnya ke tingkat kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang dicita-citakan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi, justru sebaliknya telah menimbulkan
proses pemiskinan struktural yang berlangsung secara sistematik, sebagai
konsekuensi dari pilihan ideologi penguasaan dan paradigma pemanfaatan serta
pengelolaan sumber daya alam yang dibangun dan digunakan selama pemerintahan
Orde Baru.
Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama penduduk
negeri ini, baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50 – 70
juta orang, maupun nilai kerugian materil dan spritual atas penerapan politik
pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir. Penindasan terhadap
masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di
bidang sosial dan budaya lainnya. Kondisi ini menjadi demikian ironis karena
pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur
negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam hampir semua
keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum
terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses
dan agenda politik nasional.
Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang
dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat
terasing”, “peladang berpindah”, “masyarakat rentan”, “masyarakat primitif’
dan sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola
kehidupan mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan
kultural. Keberadaan masyarakat adat dan haknya pada sumberdaya hutan yang
bersumber dari otoritas adat adalah kenyataan yang tidak dapat diingkari. sejak
masa kolonial sampai kini, berbagai studi menyatakan pengakuannya dengan
derajat berbeda terhadap hal tersebut. Kehadiran hukum negara yang berupaya
mengatur masyarakat adat dan haknya pada sumberdaya hutan juga bukanlah hal
yang baru.
Selama lebih dari tiga dasawarsa ini, pemerintah telah
membuat berbagai peraturan menyangkut masyarakat adat. UU No.5 tahun 1967, PP
No.21 tahun 1970, PP No.6 tahun 1999, Keputusan Menteri Kehutanan
No.251/Kpts-II/1993 dan Keputusan Menteri Kehutanan No.47/Kpts-II/1998 adalah
peraturan yang secara tegas mengatur mengenai hak-hak masyarakat adat di
kawasan hutan. Setahun terakhir ini, pemerintah (Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, kini Departemen Kehutanan) tengah menyiapkan kebijakan baru
berkaitan dengan masyarakat adat melalui penerbitan keputusan menteri kehutanan
dan perkebunan yang untuk sementara mengatur tentang pengukuhan wilayah
masyarakat adat dan hak pengelolaannya.
Apakah (rancangan) peraturan baru ini membawa perubahan yang
mendasar dalam persoalan masyarakat adat; ataukah hanya memberikan ‘baju baru’
untuk peraturan-peraturan yang ada tanpa perubahan subtansial yang berarti,
hanya dapat dijawab dengan menelisik keberadaan rancangan kebijakan yang
dimaksud.
Masyarakat
Adat Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang digunakan
oleh masyarakat lokal dengan logika yang dipakai oleh mereka yang datang
kemudian, logika masyarakat lokal dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
alam dapat kita temui di banyak masyarakat tradisional yang ada di Aceh, dimana
dulu masyarakat melakukan dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada untuk
kebutuhan dan bertahan hidup dan terus menghargai dan menjaga keseimbangan alam
dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam.
Namun saat ini kondisi tersebut mulai berubah, dimana pada
saat sekarang ini pola pengelolaan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber daya alam
seringkali mengatasnamakan pembangunan nasional, datang dengan logika ekonomi
akumulasi kapital yang mengedepankan efisiensi di atas segalanya. Kalau
keduanya diukur dengan ukuran yang sama akan menimbulkan komplikasi karena
masyarakat adat merasa bahwa aktivitas mereka sebelumnya, tidak pernah
menimbulkan dampak dengan tingkat kerusakan sumber daya alam yang cukup tinggi,
jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan kebijakan
mereka dalam mengusahakan potensi sumber daya alam yang tanpa melihat kearifan
lokal masyarakat setempat.
Fenomena hak masyarakat atas pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam merupakan kunci dan kontrol atas pembangunan yang
berkelanjutan, juga diatur dengan berbagai dasar hukum seperti dalam UU no. 41
tahun 1999 tentang kehutanan, UU no. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi,
UU no. 27 tahun 2003 tentang panas bumi, dan peraturan lainnya. Sebenarnya ini
menjadi peluang bagi masyarakat adat dalam melakukan pengelolaan sumber daya
alam, pemerintah juga harus memberikan kewenangan yang penuh bagi masyarakat
dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam dan benar-benar melaksanakan apa
yang terdapat di dalam perundang-undangan, dan peraturan lainnya yang berlaku.
Dalam Upanya Mendorong Pengelolaan Sumber Daya Alam yang
dilakukan oleh masyarakat adat kedepannya, maka dalam setiap kebijakan yang
dilahirkan oleh pemerintah mengenai pengelolaan sumber daya alam, maka sangat
penting dilihat diantaranya :
(1)
Kejelasan wilayah masyarakat adat
Wilayah adalah hal penting berkaitan dengan penguasaan
sumberdaya dan yurisdiksi dari otoritas masyarakat adat. Dengan mengkaitkan
kedua hal itu penentuan wilayah tidak semata-mata berhubungan dengan klaim atas
suatu lingkungan tetapi juga komitmen untuk mengelola lingkungan itu secara
bertanggungjawab. Karena wilayah berkaitan dengan klaim penguasaan dan
yurisdiksi maka wilayah perlu ditentukan berdasarkan kesepakatan antara
pihak-pihak yang berkepentingan pada sumberdaya hutan. Satu hal yang penting
dalam kesepakatan ini adalah bahwa klaim kewilayahan tidak semata-mata merujuk
pada keinginan menguasai sumberdaya tetapi juga memperhatikan kemampuan
mengelola sumberdaya dengan baik.
(2)
Kepastian Alas Hak bagi Masyarakat Adat/Lokal
Perubahan berbagai peraturan-per-UU-an yang secara tegas
memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak adat
atas suatu kawasan SDA yang berada di dalam wilayah masyarakat adat. Dalam hal
penentuan batas-batas wilayah adat ini, suatu komunitas masyarakat adat yang
memiliki dasar historis (riwayat tanah/wilayah secara lisan dan/atau tertulis,
saksi-saksi, persetujuan dengan komunitas masyarakat adat yang
berbatasan/tetangga langsung) atas hak asal-usul (atau hak tradisional, atau
hak ulayat, atau hak adat lainnya) memiliki hak untuk melakukan “self-claiming”
atau “participatory community mapping“.
Kawasan-kawasan SDA yang bebas dari claim hak milik dari
orang per orang atau hak adat dari masyarakat adat maka kawasan/tanah tersebut
bisa masukkan sebagai kawasan/tanah publik yang pengelolaannya berada di tangan
pemerintah. Kawasan/tanah PUBLIK ini harus dilepaskan oleh pemerintah kepada
yang berhak apabila dalam perkembangannya ada orang/pribadi tertentu,
sekelompok orang (kolektif) atau kelompok masyarakat adat tertentu yang bisa menunjukkan
“bukti” kepemilikan pribadi (untuk kasus orang per orang) dan
“penguasaan/kepemilikan” adat (untuk masyarakat adat). Dengan demikian maka
menurut status alas hak (hak penguasaan, tenurial rights) atas
kawasan SDA bisa dibagi dalam 4 macam, yaitu: (1) hak milik pribadi; (2) hak
milik kolektif; (3) hak adat; (4) hak publik pengelolaannya di tangan
pemerintah.
Berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak
adat tersebut maka setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah perlu
menyebutkan bahwa: (1) Kawasan SDA yang dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh
masyarakat adat maka kegiatan pengelolaannya sepenuhnya berada ditangan
masyarakat adat itu sendiri; (2) Setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA
antara masyarakat adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan
yang saling menguntungkan dengan memperhatikan aspek konservasi dan Kearifan
lokal Masyarakat Adat;
Pengakuan terhadap penguasaan kawasan adat jelas akan
memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk
diakui sebagai masyarakat adat, dan juga untuk menentukan batas-batas wilayah
dan kawasan hutan adat dari masyarakat yang bersangkutan.
(3)
Pendekatan Ekosistem, Kedekatan Sejarah & Kultural dalam Penataan Ruang
Kelola SDA yang Demokratis-Partisipatif
Untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi
alam dan keberlanjutan sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas
maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan
dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme
dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan
kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah. Dengan
pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya,
teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar
mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal
sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang
diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan”
untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa
dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan
SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini
membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses
penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem.
Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan
menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan
bersama yang “intangible” yang dinikmati bersama oleh banyak komunitas yang
tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam
konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri)
harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency)
antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di
antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan
organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi (participatory
democracy).
Kesepakatan
Masyarakat Adat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Mengenai
kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat adat dengan pemerintah maupun pihak
lain sudah ada melahirkan beberapa kesepakatan diantaranya :
- Pada tahun 1995 dibuat sebuah kesepakatan telah dibuat antara Yayasan Leuser International dan masyarakat Kemukiman Manggamat di Aceh yang berkenaan dengan pemanfaat hasil hutan non kayu secara lestari di kawasan Hutan Lindung Kemukiman Manggamat pada Kawasan Ekosistem Leuser seluas sekitar 13.810 ha. Dalam surat kesepakatan tersebut dicantumkan kewajiban kedua belah pihak dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu. Surat kesepakatan yang dibuat pada 1995 tersebut ditandatangani oleh pihak Unit Manajemen Leuser, Kepala Kemukiman Manggamat dan Gubernur Aceh sebagai yang mengetahui.
- Pada tahun 1998, kesepakatan tersebut ditingkatkan dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, SK No. 445/Kpts/KWL-4/1998 tentang Penunjukan Pengusahaan Kawasan Hutan Lindung Tripa Kluet seluas 12.000 hektar sebagai Hutan Kemukiman Konservasi Manggamat kepada Yayasan Perwalian Pelestarian Alam Masyarakat Adat Manggamat (YPPAMAM) Dikecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan. Pada Bagian pertama diputuskan :
Menunjuk
Yayasan Perwalian Pelestarian Masyarakat Adat Manggamat untuk memanfaatkan,
mengusahakan dan meningkatkan produksi hasil hutan non kayu yang mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan berazaskan pelestarian dan
pemanfaatan hutan lindung secara serasi, seimbang di areal seluas +- 12.000
hektar terdiri dari +- 5.000 Ha Hutan Lindung dan +- 7.000 Ha Hutan Produksi
Terbatas dengan batas-batas sesuai dengan lampiran peta keputusan ini
Selain
itu juga dalam SK tersebut merupakan pemberian sangsi apabila pemanfaatan hasil
hutan non kayu tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
disepakati.
![]() |
Masjid Raya Baiturrahman Aceh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar